Gunakan sehingga berguna

Tulisan ini tentang bahasa Indonesia, untuk merayakan bahasa Indonesia di Bulan Bahasa yang diperingati di Indonesia setiap Oktober tiba.

Gunakan sehingga berguna
Photo by Z / Unsplash
Buat draf surat kepada organisasi lingkungan untuk izin pembangunan pagar di selatan properti saya. Sesuai peraturan, pagar akan setinggi enam kaki dan terbuat dari kayu cedar.

Paragraf di atas adalah saran instruksi dari Copilot yang muncul di Microsoft Word saat saya membuka dokumen baru untuk menyusun tulisan ini.

Sebagai penerjemah, saya langsung tahu paragraf tersebut hasil terjemahan setia, yang cenderung mekanis. Boleh jadi, penerjemahnya ya Copilot juga.

Sebagai pengguna produk Microsoft 365 yang mengaktifkan pilihan Bahasa Indonesia sebagai bahasa antarmukanya, paragraf itu membuat rasa asam langsung menjalar di lidah saya.

Organisasi lingkungan? Properti saya? Setinggi enam kaki? Dan gongnya: kayu cedar?

Paragrafnya memang menggunakan bahasa Indonesia. Tapi muatannya tidak masuk di akal pembaca Indonesia, khususnya karena konteks penggunaannya adalah Indonesia.

Kalau tadi konteks penggunaannya adalah, misalnya, Amerika Serikat—yang memang punya neighborhood association, tidak menggunakan sistem metrik, dan akrab dengan kayu cedar—dua kalimat itu jadi masuk akal. Itu pun, masuk akalnya hanya sampai titik mengerti akan arti kalimat-kalimatnya. Tidak sampai membuat paragraf itu berguna sebagai saran instruksi untuk menyusun sebuah wacana dengan bantuan akal imitasi.

Begitulah, kemasukakalan makna sebuah wacana memang bisa terkurung dalam tempurung bahasa pengantarnya. Saat bahasa pengantar ini diganti, maknanya keluar akal—dan kebergunaannya pun bubar.


Bahasa Indonesia itu bahasa pertama yang saya pelajari dan kuasai. Berbeda dari banyak orang Indonesia yang segenerasi atau lebih tua dari saya, saya belajar bahasa Indonesia di rumah, bukan di sekolah. Ikatan pribadi saya dengan bahasa ini sangatlah kuat. Dan sejak tahun 2010, bahasa ini telah menjadi sarana penghidupan saya sebagai penerjemah.

Kalau biasanya di Bulan Bahasa orang mengiris bahasan tentang bahasa Indonesia dari sudut, mungkin, kebudayaan atau kebahasaan (kadang diselingi goresan perihal nasionalisme dan moral bangsa), kali ini saya mau menyigi bahasa Indonesia dalam perannya sebagai alat saya mencari nafkah.

Sebagai penerjemah, bahasa sasaran saya adalah, terutamanya, bahasa Indonesia. Sebelum dan saat tidak menjadi penerjemah, pertalian saya dengan bahasa ini adalah pertalian pribadi. Bahasa Indonesia adalah peranti saya untuk urusan cerap dan ungkap gagasan. Bahasa Indonesia adalah pesawat komunikasi pribadi yang saya piloti dan tumpangi sendiri. Dan yang dengan merdeka saya terbangkan untuk tujuan-tujuan pribadi pula. Karena toh yang punya pesan ya saya.

Setelah dan saat menjadi penerjemah, talinya tambah satu: pertalian profesi. Dalam relasi ini, bahasa Indonesia adalah pesawat komunikasi sewaan. Pilotnya masih saya (walau kali ini saya digaji). Tapi penumpangnya, sudah lain, banyak lagi.

Maka, pesawat ini harus saya terbangkan dengan aneka pakem dan tata cara kerja yang wajib saya ikuti satu persatu. Semua demi membawa para penumpangnya ke tujuan pemahaman yang tepat dan lewat pengalaman yang sebisa mungkin senyaman mungkin. Karena toh yang punya pesan bukan saya.


Lima belas tahun berhubungan dengan bahasa Indonesia dalam pertalian profesi, saya kini cukup mampu mengambil jarak untuk mencermati dan memafhumi peran taktisnya sebagai alat demi tujuan komunikasi antarbahasa.

Sebagai penerjemah, saya belajar untuk membedakan pesan dari kata-kata yang memuatnya. Sebagai juru bahasa, saya belajar untuk mencari dan menggenggam informasi di tengah-tengah balutan (kadang bahkan cengkeraman) bunyi dan lagak ungkap yang hiruk-pikuk.

Saya belajar untuk rela: Bahwa cara terbaik mengalihbahasakan pesan adalah yang membuat pembaca atau pendengar pesannya paham—peduli amat cara itu sesuai dengan selera atau gaya bahasa saya sendiri atau tidak.

Saya sadar, tugas saya (dan orang membayar jasa saya untuk) menjadi penerjemah atau juru bahasa, bukan penulis atau pembicara. Artinya, semua ilmu dan pengetahuan dan kesadaran saya tentang bahasa sasaran—dalam hal ini bahasa Indonesia—harus didudukkan pada konteks itu.

Prinsip kebergunaan jadi sangat penting di sini. Kalau tidak, jadinya ya seperti kutipan pembuka tulisan di atas tadi.


Menjunjung prinsip kebergunaan itu, saya akan memilih untuk, misalnya, tidak menggunakan siniar sebagai padanan podcast dalam terjemahan saya segera setelah padanan itu coba dimasyarakatkan oleh Badan Bahasa.

Pemasyarakatan sebuah padanan istilah asing bisa tercapai dalam waktu relatif cepat atau relatif lambat. Padanan yang ditawarkan bisa jadi laku bisa pula tidak. Dan yang saat ini tampak tidak laku tidak berarti pasti tak laku selamanya.

Intinya, bahasa itu bergeser lasak tiap hari. Maka, penerjemah harus mengamati dan mencermati arah pergeserannya kalau mau bijak mengambil keputusan alih bahasa.

Ambil contoh: Saya penerjemah dengan bidang spesialisasi jasa keuangan (nonperbankan). Dalam jajaran produk jasa keuangan kategori asuransi, ada barang yang diistilahkan dengan produk ‘unit-link’ (kadang disebut juga produk ‘investment-linked’). Istilah ini dibiarkan bertahun-tahun tanpa padanan dan lazim digunakan dalam istilah Inggrisnya.

Belum lama ini, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mengeluarkan istilah produk asuransi yang dikaitkan dengan investasi, disingkat PAYDI, yang diterapkan dalam dokumen-dokumen resmi yang diterbitkan lembaga ini. Penerapannya pun terbilang percaya diri (perhatikan bahwa OJK tidak merasa perlu menyertakan istilah Inggris yang sebetulnya sudah lebih dahulu populer di samping frasa baru yang mereka perkenalkan).

Untuk sementara, respons penutur bahasa Indonesia dari kalangan industri jasa keuangan masih beragam; walau, saya perhatikan, untuk komunikasi tulisan yang mengarah ke publik, perusahaan-perusahaan asuransi serentak memperkenalkan dan menggunakan istilah PAYDI. Sesekali, dalam kapasitas saya sebagai juru bahasa, telinga saya juga mulai menangkap PAYDI diucapkan oleh pejabat perusahaan asuransi.

Namun, di kalangan praktisi (tenaga pemasar) produk asuransi, saya amati tren penggunaan PAYDI berjalan lebih lambat, baik dalam komunikasi lisan maupun tulisan. Apakah suatu saat istilah PAYDI akan pelan-pelan menggantikan unit link? Mungkin. Tapi bagi saya, untuk saat ini saya tetap perlu cermat menggunakan padanan itu karena derajat keberterimaan dan penggunaannya belum setinggi, misalnya, kata daring (padanan online) yang sudah lebih memasyarakat. Dalam kecermatan itu, ada upaya mengenali siapa yang bicara dan kepada siapa dalam konteks dan untuk tujuan apa.

Untuk padanan yang tampaknya sudah memasyarakat pun, ada kalanya ada saja penutur bahasa Indonesia yang belum tahu. Saya pernah menjadi juru bahasa di sebuah rapat daring, yang seorang pesertanya mengutarakan keluhan tidak jadi mengakses platform digital yang telah disiapkan untuknya karena tidak mengerti apa arti kata surel. Dan yang menerjemahkan email jadi surel pada laman masuk platform itu adalah saya. Gimana coba rasanya?


Menjunjung asas kebergunaan pula, saya maklum akan kedudukan bahasa sasaran saya di tengah-tengah gelanggang produksi dan distribusi pesan di era informasi. Jamak dari himpunan pesan itu (yang mewakili entah IPTEK, entah gejala budaya, entah perkembangan di aneka bidang kehidupan lainnya) yang lahir bukan dalam balutan lampin bahasa Indonesia. Tapi pesan-pesan itu mengalir pesat ke Indonesia, entah untuk urusan jual-beli, entah pertukaran wacana atau informasi. Kata-kata yang mewadahi pesan-pesan itu hinggap di perbendaharaan istilah para pengguna informasi—khususnya pengguna gelombang pertama—dan seringnya tanpa melalui saringan pengindonesiaan.

Ada ketimpangan di antara kecepatan hinggapnya istilah dan kecepatan (urgensi) pengindonesiaannya. Saya sebut ‘urgensi’ untuk mencontohkan fakta bahasa yang berpijak pada prinsip kebergunaan tadi. Mana yang lebih mendesak atau gawat atau lebih nyata dampak dari tujuannya: mengindonesiakan floppy disk drive atau social distancing? Dan mana pula yang lebih cepat populer dan kalis penggunaan padanannya: kandar diska flopi atau pembatasan sosial (berskala besar)?

Perhatikan pula dua mazhab pengindonesiaan istilah yang dipakai pada dua contoh itu. Yang satu mencoba menyerap lafal supaya mirip dengan istilah asingnya (lalu mencaplok istilah arkais kandar dari jagat makna kendaraan dan menempelkannya ke jagat komputer). Yang lain benar-benar berupaya menghadirkan pemahaman dengan cepat, mengingat keadaan sedang gawat dan harga keterlambatan serta kesalahpahaman terlalu mahal.

Tapi saya juga mengerti bahwa hiruk-pikuk padanan istilah biasanya terjadi di tahap-tahap awal penerapan dan dialami oleh generasi-generasi pertama penggunanya. Pelokalan tetap perlu, dan prosesnya hampir selalu iteratif. Keterpakaian padanan bisa tenggelam di generasi pengguna yang satu, lalu timbul di generasi pengguna yang lain. Bisa juga sebaliknya (seperti kata nasion yang dulu dipakai, sekarang sedang tidak). Dan begitu seterusnya.

Perilaku ini mengikuti pola pergeseran dalam bahasa itu sendiri. Makin ke sini, pergeserannya bisa terjadi berkali-kali dalam satu masa hidup seorang manusia. Bagi seorang penerjemah, dasar pikir dalam pemilihan teknik alih bahasa harus memedomani luwesnya gerak-gerik pergeseran ini (Keterpakaian dan pemakainya). Apalagi kalau kita bicara soal pengalihbahasaan produk populer yang konsumennya mewakili rentang demografi yang lebar. Mulai dari yang fasih mengoperasikan produk itu tanpa harus beralih ke bahasa lokal, ke yang sudah cukup terbiasa dengan istilah-istilah standar bahasa asingnya tapi lebih nyaman mengoperasikan produk dalam bahasa lokal, hingga yang sama sekali harus mengandalkan antarmuka dalam bahasa lokal.

(Saya pribadi terbiasa menggunakan antarmuka bahasa Inggris saat mengoperasikan ponsel saya. Tapi saya punya pengalaman berbincang dengan seorang pramuniaga di sebuah toko ponsel yang fasih menggunakan semua istilah dalam antarmuka bahasa Indonesia saat menjelaskan fitur-fitur produk ponsel yang sedang saya timbang untuk beli. Contoh yang paling saya ingat adalah bola bantu(an) untuk assistive ball. Saya sempat berpikir sejenak saat mendengar istilah bola bantu ini dan baru ngeh saat pramuniaga itu memperlihatkan wujudnya. Saya salut dengan penerjemahnya.)

Di hadapan semua konteks itulah saya mendudukkan pertalian profesi saya dengan bahasa Indonesia. Pembahasan saya memang banyak berkutat di topik padanan istilah. Tapi penerjemahan bukanlah kerja menyusun kamus istilah. Jauh melampaui itu, penerjemahan menggunakan alat-alat bahasa untuk menyampaikan pesan dalam lingkungan komunikasi demi mencapai pemahaman sesuai guna dari pesan itu sendiri.

Sebagai ‘pilot bayaran’, saya wajib memperhatikan demografi dan ragam preferensi ‘penumpang’ saya, serta memastikan mereka semua sampai pada tujuan yang sama, yaitu pemahaman. Barulah bahasa Indonesia saya berguna. Dan dengan cara itulah saya menghormati dan merayakan bahasa Indonesia sebagai bahasa yang telah memberi saya penghidupan.

Berlangganan Jurnal Pelokalan Translexi

Jadi anggota supaya tidak ketinggalan konten terbaru!
Nama dan surel Anda
Daftar